Krisis Perbankan di India: Cerita di Balik Bank yang Gagal dan Apa yang Bisa Kita Pelajari

Krisis Perbankan di india ini adalah salah satu masalah besar bagi negara ini sendiri

Krisis Perbankan Gue inget pertama kali dengar soal “krisis perbankan di India” itu pas baca berita tentang salah satu bank besar di sana, Yes Bank, yang mendadak dibatasi transaksinya sama pemerintah. Gila gak sih? Lo bangun pagi, buka aplikasi mobile banking, dan tau-tau saldo gak bisa ditarik karena pemerintah takut banknya kolaps. Stress banget, bro.

Gue mikir, kok bisa sih bank segede itu goyah? Bukannya bank itu tempat paling aman buat simpen duit?

Nah, dari situ gue mulai ngulik. Dan makin gue dalemin, makin kebuka betapa ruwet dan menariknya Krisis Perbankan ini — dari utang jelek (NPA), korupsi, sampai manajemen yang sembrono.


Krisis Perbankan di India: Cerita di Balik Bank yang Gagal dan Apa yang Bisa Kita Pelajari

Krisis Perbankan

Awal Mula – Ketika “Utang Jelek” Jadi Penyakit Kronis

Lo tahu gak istilah NPA (Non-Performing Assets)? Awalnya gue juga kagok, tapi singkatnya itu utang yang gak dibayar. Misalnya lo minjem duit dari bank buat bikin usaha, tapi usahanya bangkrut dan lo gak bisa bayar cicilan — nah, itu jadi NPA buat bank.

Dan masalahnya, di India, utang-utang kayak gini jadi membengkak dari tahun ke tahun. Gue baca laporan RBI (Bank Sentral India), di puncak krisis, total NPA bisa tembus lebih dari 10% dari seluruh kredit bank publik. Itu gede banget.

Dan sebagian besar pinjaman macet itu datang dari perusahaan-perusahaan gede — bukan dari UMKM atau rakyat kecil. Artinya, bank nyalurin kredit dalam jumlah besar ke perusahaan konglomerat yang ternyata gak sanggup (atau gak mau?) bayar balik.

Gue langsung mikir, kok bisa ya mereka disetujui dapet pinjaman segede itu? Ternyata banyak pinjaman dikasih bukan karena prospek bisnisnya bagus, tapi karena koneksi politik dan lobi-lobi. Waduh.


Yes Bank, Punjab & Maharashtra Co-op Bank, dan Nama-Nama Besar Lainnya

Salah satu kasus yang paling nyangkut di kepala gue ya Yes Bank tadi. Tahun 2020, bank ini tiba-tiba dibekukan transaksinya sama RBI karena posisi keuangannya memburuk drastis. Gue bisa ngebayangin paniknya nasabah.

Mereka cuma boleh tarik maksimal 50 ribu rupee per akun dalam sebulan. Bayangin kalau lo punya uang buat bayar rumah sakit, sekolah anak, dan semuanya nyangkut di bank — tapi gak bisa ditarik.

Masalahnya mirip-mirip: terlalu banyak pinjaman macet, pengelolaan dana yang buruk, dan ekspansi yang terlalu agresif.

Kasus lain? Punjab & Maharashtra Co-operative Bank (PMC Bank) juga sempat jadi headline karena ketahuan nyalurin kredit ilegal ke perusahaan properti yang bangkrut. Parahnya, itu terjadi bertahun-tahun dan gak ada yang curiga. Audit keuangan juga kayak “tutup mata.” Gue sampe mikir, apa gak ada sistem pengawasan?


Dampaknya ke Masyarakat dan Ekonomi

Krisis Perbankan

Ini bagian yang paling bikin gue mikir ulang soal “duit di bank itu aman.” Karena walaupun ada jaminan dari pemerintah, realitanya kalau lo nasabah bank yang kolaps, stresnya tuh nyata.

Banyak nasabah, terutama lansia dan pensiunan, hidup dari bunga simpanan mereka. Begitu banknya dibatasi atau dilikuidasi, pemasukan mereka langsung berhenti. Ada yang sampe harus jual aset buat makan sehari-hari.

Dari sisi ekonomi nasional, kepercayaan publik terhadap sistem keuangan jadi goyah. Orang jadi takut nabung di bank kecil atau koperasi. Dana keluar, investasi turun, dan roda ekonomi bisa melambat. Dan ini bukan cuma masalah “uang,” tapi soal rasa aman.


Reformasi dan Apa yang Sudah (atau Belum) Dilakukan Pemerintah India

Setelah krisis-krisis itu muncul, RBI dan pemerintah India mulai gencar reformasi. Mereka dorong konsolidasi bank-bank publik, supaya lebih kuat dan efisien. Bank kecil digabungkan ke bank yang lebih besar.

Selain itu, pengawasan internal diperketat, dan sistem indrabet jaminan simpanan ditingkatkan jadi sampai 5 lakh rupee per akun. Ini langkah bagus, tapi menurut gue belum cukup.

Karena akar masalahnya itu bukan cuma struktur bank, tapi budaya Krisis Perbankan yang sering kali lebih mengutamakan koneksi dibanding kalkulasi risiko.

Yang masih kurang? Transparansi. Banyak keputusan kredit yang dibuat di balik layar, tanpa akuntabilitas. Dan selama itu belum dibenahi, Krisis Perbankan serupa bisa terulang.


Pelajaran yang Bisa Kita Ambil (Termasuk Buat Kita di Indonesia)

Krisis Perbankan

Jujur aja dari Krisis Perbankan gue belajar banyak dari Krisis Perbankan. Bukan cuma soal gimana bank bisa bangkrut, tapi juga soal pentingnya literasi finansial.

  1. Jangan simpan semua uang di satu tempat. Terutama di bank-bank kecil atau yang lo gak yakin reputasinya.

  2. Pantau kesehatan bank. Banyak orang gak tahu kita bisa akses laporan keuangan bank dan rating kredit dari badan independen.

  3. Waspada kalau suatu bank terlalu agresif nawarin bunga tinggi. Biasanya itu tanda mereka lagi butuh likuiditas cepat.

  4. Pentingnya regulasi yang sehat. Sebagai warga negara, kita harus dorong pemerintah buat terus transparan soal sistem keuangan.

Dan satu lagi: jangan anggap Krisis Perbankan kayak gini cuma terjadi di negara lain. Indonesia pun punya sejarah kasus-kasus bank bermasalah. Jadi lebih baik belajar dari pengalaman negara lain sebelum kita kena.


Kata Kata Hari ini Bosku: Uang Kita, Tanggung Jawab Kita

Krisis Perbankan Banyak dari kita tumbuh dengan anggapan “nabung di bank itu pasti aman.” Tapi realitanya lebih rumit. Bank bisa gagal. Sistem bisa bocor. Dan kadang, yang kena getahnya justru orang biasa kayak kita.

Makanya penting banget buat melek soal cara kerja bank, sistem jaminan, dan risiko-risiko yang ada.

Gue gak mau bikin lo paranoid. Tapi lebih baik hati-hati dan sadar, daripada terlambat.

Kalau lo punya cerita soal bank gagal, pinjaman bermasalah, atau bahkan kerja di sektor ini — ayo dong share. Kita semua bisa belajar bareng.

Baca Juga Artikel Informasi Lainnya disni: KA Solo Jakarta: Apa Akan Jadi Trend Seperti Whoosh?

Author