Triple Frontier Netflix: Sinopsis, Review, dan Pesan Moral yang Membekas

Triple Frontier

Kalau ngomongin film action dengan bumbu drama persahabatan dan dilema moral, Triple Frontier adalah salah satu yang langsung muncul di kepala saya. Film ini rilis di tahun 2019 di Netflix, disutradarai oleh J.C. Chandor, dan menampilkan jajaran aktor keren seperti Ben Affleck, Oscar Isaac, Pedro Pascal, Charlie Hunnam, sampai Garrett Hedlund. Dari daftar pemainnya aja udah bikin film ini terasa mewah.

Ceritanya cukup sederhana tapi punya kedalaman. Seorang mantan tentara bernama Santiago “Pope” (Oscar Isaac) punya misi pribadi: menumbangkan seorang gembong narkoba besar di perbatasan Amerika Selatan. Tapi misi ini nggak cuma soal keadilan. Pope tahu si gembong ini menyimpan kekayaan luar biasa di rumahnya. Nah, di sinilah dia mulai ngajak teman-teman lamanya—para veteran militer—buat ikut serta. Mereka adalah Tom “Redfly” (Ben Affleck), William “Ironhead” (Charlie Hunnam), Francisco “Catfish” (Pedro Pascal), dan Ben Miller (Garrett Hedlund).

Di awal, misi ini kedengerannya keren: membunuh kriminal berbahaya sekaligus dapetin duit. Tapi seperti yang bisa ditebak, semuanya nggak berjalan mulus. Ada dilema moral, ada persahabatan yang diuji, dan tentu saja ada konsekuensi berat dari pilihan mereka. Dari sinilah film ini menarik: bukan sekadar film tembak-tembakan, tapi juga refleksi tentang keserakahan, loyalitas, dan harga yang harus dibayar atas keputusan salah.

Saya jujur, pertama kali nonton ini, saya kira bakal jadi film action standar. Tapi ternyata, saya malah sibuk mikirin kalau saya ada di posisi mereka, apakah saya bakal ngambil kesempatan ambil uang haram itu? Hhhmm… nggak gampang jawabnya.

Apa yang Membuat Triple Frontier Ditunggu Sebelum Rilis?

REVIEW: 'Triple Frontier' won't broaden your horizon — Kinetoscope | Articles and Reviews on Movies and TV

Sebelum rilis, hype Triple Frontier lumayan gede. Dan saya juga termasuk yang ikutan penasaran. Ada beberapa alasan kenapa film ini bikin banyak orang nungguin.

Pertama, line-up aktornya. Coba bayangin, dalam satu film ada Ben Affleck (yang udah main jadi Batman), Oscar Isaac (pemain Star Wars), Pedro Pascal (yang sekarang makin terkenal lewat The Mandalorian dan The Last of Us), ditambah Charlie Hunnam (Sons of Anarchy) dan Garrett Hedlund. Kayak tim impian gitu lah Wikipedia.

Kedua, Netflix waktu itu lagi gencar banget produksi film orisinal dengan kualitas bioskop. Jadi banyak orang berharap Triple Frontier bisa jadi salah satu film action besar yang ngalahin ekspektasi. Saya masih inget, trailer-nya waktu pertama keluar bikin deg-degan. Ada adegan mereka bawa karung-karung uang di helikopter, terus ada momen kejar-kejaran di pegunungan. Visualnya udah nunjukin kalau film ini bakal serius banget secara produksi.

Ketiga, temanya relevan dengan isu nyata. Film ini ngomongin soal veteran militer yang setelah pensiun, hidup mereka kadang berantakan, nggak sebanding sama pengorbanan mereka. Itu bikin banyak orang jadi lebih simpati dan penasaran, karena bukan sekadar fiksi.

Saya sendiri waktu itu sempat mikir, “wah, ini kayaknya bukan sekadar film aksi doang, bakal ada pesan moralnya.” Dan ternyata bener.

Keunikan dari Film Triple Frontier

Beda dari film action kebanyakan, Triple Frontier punya beberapa hal yang menurut saya bikin unik.

Pertama, nuansa realis. Film ini nggak lebay kayak film Hollywood yang biasanya penuh ledakan sana-sini. Adegan aksinya lebih “sunyi” dan realistis. Contoh, waktu mereka ngangkut duit dari rumah si gembong narkoba, kita bener-bener bisa ngerasain beratnya karung uang itu. Bahkan helikopter mereka hampir jatuh karena kelebihan beban. Itu detail kecil, tapi bikin ceritanya terasa masuk akal.

Kedua, permainan emosi antar karakter. Konflik utamanya bukan cuma melawan musuh, tapi justru melawan diri sendiri dan teman-teman dekat. Ada adegan di mana Redfly (Ben Affleck) jadi semakin serakah dan egois, sampai akhirnya justru membahayakan tim. Itu bikin saya mikir, dalam hidup nyata pun, uang seringkali bisa merusak persahabatan.

Ketiga, lokasi syutingnya keren banget. Mereka syuting di beberapa negara Amerika Selatan, dengan latar hutan, gunung, dan desa terpencil. Pemandangannya luar biasa, tapi di saat yang sama terasa mencekam. Saya sempat mikir, “gila, ini kalau liburan ke sini mungkin keren, tapi kalau buat operasi militer ya jelas horor.”

Keempat, ending-nya yang pahit. Saya nggak mau spoiler terlalu detail, tapi intinya, film ini nggak kasih happy ending ala Hollywood. Justru itu yang bikin membekas. Karena di dunia nyata, nggak semua cerita ditutup dengan bahagia.

Tips Menonton Film Triple Frontier

Kalau kamu baru mau nonton Triple Frontier, saya punya beberapa tips biar pengalaman nonton lebih maksimal:

  1. Siapkan suasana tenang. Ini bukan film action dengan ledakan nonstop. Jadi kalau nonton sambil main HP, kemungkinan besar kamu bakal kelewat detail emosi antar karakter.

  2. Perhatikan dialog. Banyak percakapan yang nunjukin karakter asli tiap tokoh. Misalnya, Pope yang idealis, Redfly yang makin serakah, atau Catfish yang realistis. Tanpa ngerti dialognya, film ini bakal terasa hambar.

  3. Jangan buru-buru. Temponya agak lambat di awal. Jujur aja, saya sempat hampir skip beberapa bagian karena mikir terlalu banyak ngobrol. Tapi sabar aja, karena klimaksnya worth it.

  4. Tonton di layar besar kalau bisa. Visual pemandangan alamnya cakep banget. Saya waktu itu cuma nonton di laptop, agak nyesel karena kayaknya lebih dapet feel-nya kalau di TV gede atau home theater.

  5. Ajak teman buat diskusi setelah nonton. Percaya deh, film ini bikin kamu mikir, “kalau gue ada di posisi mereka, apa gue bakal ambil duit itu juga?” Diskusi kayak gini justru bikin film makin berkesan.

Review dari Film Triple Frontier

Triple Frontier' Stars Charlie Hunnam and Garrett Hedlund Talk Netflix Supremacy and More

Nah, bagian ini mungkin yang paling personal. Jujur, saya punya love-hate relationship sama Triple Frontier.

Hal yang saya suka:

  • Aktingnya mantap, apalagi Oscar Isaac dan Ben Affleck. Chemistry mereka terasa nyata.

  • Visualnya indah banget, dari hutan sampai pegunungan bersalju.

  • Ceritanya punya lapisan moral, nggak sekadar baku tembak.

Hal yang saya kurang suka:

  • Temponya agak lambat di awal, bikin beberapa orang bisa bosan.

  • Beberapa karakter kayaknya kurang digali. Misalnya, Catfish (Pedro Pascal) yang sebenarnya menarik, tapi porsinya terbatas.

  • Ending pahitnya memang realistis, tapi bagi sebagian penonton bisa terasa antiklimaks.

Kalau saya kasih nilai, mungkin 7.5/10. Bukan film action terbaik yang pernah saya tonton, tapi jelas lebih dalam daripada kebanyakan film bergenre serupa.

Yang paling membekas buat saya adalah pelajaran moralnya: keserakahan bisa bikin segalanya hancur. Kadang kita lupa kalau “cukup” itu sebenarnya udah lebih dari cukup. Redfly jadi contoh nyata gimana orang bisa kehilangan arah gara-gara terlalu rakus. Dan itu bukan cuma berlaku di film, tapi juga di kehidupan nyata.

Penutup

Triple Frontier bukan sekadar film action Netflix biasa. Buat saya, ini film tentang pilihan hidup, keserakahan, dan persahabatan. Ada bagian seru, ada juga bagian yang bikin mikir lama. Kalau kamu suka film yang bisa bikin diskusi setelah nonton, film ini wajib masuk daftar.

Jangan berharap ledakan spektakuler kayak Fast & Furious. Tapi kalau kamu pengen sesuatu yang lebih realistis, punya bobot moral, dan menantang pikiran, Triple Frontier adalah pilihan pas.

Dan jujur, setelah nonton, saya jadi lebih hati-hati sama yang namanya “uang cepat.” Kadang iming-imingnya besar, tapi harga yang dibayar bisa jauh lebih mahal.

Baca fakta menarik seputar : Movies

Baca juga artikel menarik tentang  : Paddington in Peru: Petualangan Beruang Cokelat yang Menghangatkan Hati

Author