The Platform 2: Saat Ketamakan Manusia Diuji Lewat Makanan dan Lantai

Contents
- 1 Sinopsis The Platform 2 (Tanpa Spoiler Berat)
- 1.1 Kenapa The Platform 2 Disukai Banyak Orang?
- 1.2 Ketegangan yang Bukan Main: Ini Bukan Film Santai
- 1.3 Keunikan The Platform 2: Bukan Sekadar Sekuel
- 1.4 Review Pribadi: Tegang, Menyiksa, Tapi Layak Ditonton
- 1.5 Part Terseru: Saat Harapan dan Keputusasaan Bentrok
- 1.6 Pelajaran yang Saya Petik: Kita Semua Ada di Lantai yang Berbeda
- 1.7 Worth It atau Nggak?
- 2 Author
Kalau kamu pernah nonton The Platform yang pertama dan merasa terguncang, tunggu sampai nonton The Platform 2. Jujur aja, saya termasuk yang nonton film pertama dengan rasa was-was tapi tetap nggak bisa berhenti. Movies kedua ini? Wah, lebih gila lagi. Saya sampai harus jeda di tengah-tengah, tarik napas, terus lanjut lagi karena rasa penasaran yang bikin nggak bisa tidur.
Film The Platform 2 bukan cuma horor distopia biasa. The Platform 2—atau El Hoyo 2 dalam versi Spanyol—nggak cuma menyuguhkan adegan sadis, tapi juga metafora sosial yang dalem banget. Saya nonton bareng teman satu kos, dan di akhir film, kami semua malah diskusi soal ketimpangan sosial dan etika kemanusiaan. Seseru itu.
Sinopsis The Platform 2 (Tanpa Spoiler Berat)
Film The Platform 2 masih berlatar di penjara vertikal—tempat makanan diturunkan dari atas ke bawah lewat platform besar. Tapi kali ini, sistemnya “diperbarui.” Ada beberapa karakter baru, termasuk tahanan yang berusaha melawan sistem dari dalam. Mereka bukan cuma pasrah menunggu makanan turun, tapi mulai menyusun strategi buat bertahan hidup sambil menyampaikan pesan ke “atas.”
Tokoh utamanya, kali ini, bukan lagi Goreng seperti di film pertama. Tapi ada karakter baru yang menurut saya lebih kompleks dan… jujur aja, lebih membingungkan juga. Tapi di situlah menariknya. Dia punya motivasi yang samar, dan itu bikin saya mikir, “Orang ini niat nolong atau sekadar bertahan aja sih?”
Film The Platform 2 tetap punya gaya sinematik yang dingin, gelap, dan minimalis. Dialognya sedikit, tapi setiap kata punya makna besar. Buat yang suka film penuh simbolisme, kamu bakal suka. Tapi buat yang nyari film ringan buat nemenin makan malam? Hmm… mending pikir dua kali Wikipedia.
Kenapa The Platform 2 Disukai Banyak Orang?
Yang bikin The Platform 2 disukai itu karena dia nggak jual jumpscare murahan. Ketegangannya dibangun dari situasi dan psikologi. Bukan tipe film yang ngejar-ngejar penonton pake suara keras, tapi lebih ke tekanan batin yang pelan-pelan merayap ke dada.
Film ini juga menyindir sistem sosial dunia nyata. Saya pribadi ngerasa kayak dikasih cermin gede yang maksa buat lihat betapa brutalnya dunia nyata. Yang di atas bisa pesta pora, sementara yang di bawah harus gigit tulang. Bahkan kalau ada yang niat baik pun, sistemnya terlalu rusak untuk diubah begitu aja.
Satu lagi yang bikin orang suka: karakter-karakter di film ini gak hitam putih. Semua punya alasan, semua punya luka, dan semua bisa berubah tergantung level mereka saat itu. Dan perubahan itu realistis banget—saya jadi mikir, “Kalau gue ada di lantai 200, apa gue masih bisa waras?”
Ketegangan yang Bukan Main: Ini Bukan Film Santai
Serius deh, ini salah satu film yang bikin saya pegangin bantal terus. Ada satu scene—yang gak bakal saya spoil—di mana salah satu karakter harus membuat keputusan antara menyelamatkan dirinya atau menyelamatkan orang lain. Dan jujur aja, saya sempat mikir, “Kalau saya di posisi itu, saya mungkin juga bakal pilih jalan yang egois.”
The Platform 2 tahu caranya membuat penonton merasa nggak nyaman. Bahkan saat nggak ada adegan darah sekalipun, atmosfernya tetap berat. Musik latarnya juga sunyi dan intens—semakin bikin dada sesak.
Bahkan temen saya yang biasanya tahan nonton film psikologis pun sempat bilang, “Gue mesti nonton yang lucu-lucu abis ini. Ini bikin otak lelah.” Tapi anehnya, kami semua tetap bilang: “Keren sih… serem tapi keren.”
Keunikan The Platform 2: Bukan Sekadar Sekuel
Biasanya ya, film sekuel itu nggak bisa ngalahin yang pertama. Tapi The Platform 2 menurut saya berhasil jadi perpanjangan yang relevan dan memperluas dunia film pertama. Ini bukan pengulangan cerita, tapi pengembangan konsep.
Uniknya, film ini juga nambah elemen-elemen baru—kayak aturan baru, interaksi antar lantai yang lebih kompleks, dan strategi bertahan hidup yang lebih beragam. Bahkan ada upaya “revolusi kecil” dari dalam sistem, walaupun ya… hasilnya bisa ditebak: chaos.
Yang bikin beda juga, kali ini ada semacam eksplorasi soal empati dan kolektivitas. Jadi bukan cuma bertahan hidup, tapi juga mempertanyakan: apakah solidaritas masih mungkin di dunia yang begitu brutal? Dan jawaban film ini… pahit banget.
Review Pribadi: Tegang, Menyiksa, Tapi Layak Ditonton
Kalau boleh jujur, saya nggak bakal langsung nyaranin film ini ke semua orang. Karena buat yang mentalnya lagi nggak stabil, film ini bisa jadi terlalu dark. Tapi buat kamu yang suka film yang “ngomong” lewat visual dan simbol, ini wajib masuk watchlist.
Saya kasih rating pribadi 8,5/10. Ceritanya kuat, temanya relevan, dan keberanian film ini buat jadi brutal tanpa minta maaf itu patut dihargai. Tapi jangan harap ada jawaban mudah atau ending bahagia. Ini film yang meninggalkan lebih banyak pertanyaan ketimbang jawaban.
Dan ya, saya suka itu.
Part Terseru: Saat Harapan dan Keputusasaan Bentrok
Ada satu momen di film ini yang bikin saya—literally—nggak bisa berkedip. Tokohnya tiba-tiba membuat keputusan nekat, dan semuanya berubah drastis. Tiba-tiba saya sadar bahwa selama ini saya salah menilai dia. Yang saya kira “pahlawan,” ternyata punya sisi gelap juga.
Konflik itu intens banget, tanpa harus banyak kata. Hanya lewat tatapan mata dan satu gerakan kecil, boom… atmosfirnya langsung berubah. Saya dan teman saya sama-sama refleks bilang, “Gila sih, ini…”
Itu momen yang nempel di kepala sampai hari ini. Dan itu juga yang bikin saya mikir, film ini bukan cuma hiburan, tapi kayak peringatan keras tentang siapa kita saat berada dalam tekanan.
Pelajaran yang Saya Petik: Kita Semua Ada di Lantai yang Berbeda
Setelah nonton The Platform 2, saya jadi lebih mikir soal privilege. Soal bagaimana kita bisa mudah menilai orang lain dari “atas,” tanpa tahu perjuangan mereka di bawah. Dan tentang bagaimana sistem kadang bikin kita tega karena kita merasa nggak punya pilihan lain.
Saya juga belajar satu hal penting: solidaritas itu sulit. Tapi bukan berarti mustahil.
Salah satu kalimat di film ini—yang masih terngiang sampai sekarang—adalah: “Kalau kamu nggak berbagi saat di atas, jangan harap ada yang berbagi saat kamu jatuh ke bawah.” Duh, dalem banget.
Worth It atau Nggak?
Kalau kamu cari film yang bisa jadi bahan diskusi panjang setelahnya, The Platform 2 sangat worth it. Tapi kalau kamu lagi nyari film santai sebelum tidur, ini jelas bukan pilihannya.
Tapi saya jamin satu hal: kamu nggak akan cepat lupa sama film ini. Dan siapa tahu, habis nonton kamu jadi mikir dua kali saat buang makanan.
Baca juga artikel menarik lainnya tentang Sinopsis & Review Restart the Earth: Film Kiamat yang Bikin Merinding disini